AdjarmanuNews - Waingapu, 6 Juni 2015, saya
bersama istri dan anak berangkat dari bandara Umbu Mehang Kunda dengan tujuan
Jakarta. Penerbangan Waingapu-Denpasar berjalan dengan baik. Selain saya
sekeluarga, ada Kak Farida Manurung yang satu penerbangan dengan kami dan juga
Ibu Pdt. sister juga Rambu Ambu Ara yang adalah tim pelayanan ke Sumatera Utara.
Saat tiba di Bandara Ngurah Rai
Denpasar, kami pun bergegas ke ruang tunggu. Tidak lupa mengambil foto di depan
pesawat sebagai kenangan. Penerbangan berikut dari Denpasar ke Jakarta akan
dilanjutkan pada pukul 18:00 Witeng. Jadi, kami pun sabar menunggu. Sampai dengan
pukul 18:30, belum ada pemberitahuan akan keberangkatan, sehingga istri saya
bertanya kepada pihak penerbangan. Mereka memberi jawaban terjadi delay 20
menit, jadi dimohon tunggu.
Sambil menunggu, saya menemani
anak (Vica) untuk bermain kelereng di ruang tunggu. Vica berlari kesana-kamari
sambil memantulkan kelerengnya di lantai. Sesekali saya memotretnya,
selanjutnya kami terus bermain sambil menunggu penerbangan berikut.
Setelah menunggu kurang lebih 1
jam, tidak ada pemberitahuan juga. Kami kembali bertanya, dan jawaban yang
sama, yaitu sedikit terjadi gangguan kelistrikan di pesawat dan sedang diatasi.
Para penumpang pun semakin cemas dan tidak sabar. Beberapa saat kemudian, kami
dipersilakan untuk naik ke pesawat. semua penumpang pun bergegas naik. Setelah
duduk dan menunggu kurang lebih 10 menit, pesawat belum juga ada tanda-tanda
untuk tinggal landas. 30 menit kemudian, penumpang sudah mulai tidak sabar. Bagaimana
tidak? cuaca di dalam pesawat sangat panas. AC tidak dihidupkan, maka suara gaduh
dari penumpang pun mulai terdengar.
Salah satu pramugari mulai
menjelaskan bahwa ada sedikit gangguan, jadi AC tidak dinyalakan. Penjelasan berikut
setelah beberapa menit, menara pengawas belum memberi ijin untuk terbang oleh
karena lalulintas penerbangan sedang padat. Mesin pesawat yang sudah mulai
dihidupkan, kembali dimatikan. Beberapa saat kemudian, kembali lagi mesin
pesawat dihidupkan. Kondisi di dalam pesawat semakin tidak terkendali.
Para penumpang mulai bangun dan
protes dengan suara yang keras kepada pramugari dan ko pilot. Para menumpang
mengatakan, "katakan dengan jujur saja kalau pesawat anda sedang bermasalah
dan tidak layak terbang....!!! mengapa sudah delay sekian jam, belum juga take
off, sedangkan pesawat sudah ada dari tadi??? Kalian jangan bermain-main dengan
nyawa kami.” Teriakan pun terjadi dimana-mana. Kami pun hampir semua
berkeringat karena memang di dalam sangat gerah dan panas.
Akhirnya penumpang pun bersepakat
untuk turun dari pesawat dan tidak mau melanjutkan penerbangan. Saya bersama
istri dan anak beserta rombongan juga ikut turun karena mencemaskan kondisi
pesawat yang mati hidup dan terjadi gangguan kelistrikan. Hiruk pikuk pun terus
berlangsung dari dalam pesawat menuju ke ruang tunggu. Pilot coba menjelaskan
tentang kondisi yang terjadi, tapi tidak dihiraukan lagi oleh penumpang. Sampai
diruang tunggu pun protes terjadi dimana-mana. Protes penumpang terhadap pihak
penerbangan semakin menjadi sebab penjelasan dari mereka semakin simpang siur. Pihak
penerbangan mempersilahkan penumpang yang mau melanjutkan penerbangan silahkan
naik, dan yang mau turun silahkan turun.
Kondisi tersebut semakin
membingungkan para penumpang. Bagaimana dengan bagasi mereka yang sudah ada di
pesawat, sementara mereka tidak mau melanjutkan penerbangan dengan pesawat
tersebut. Saya cenderung diam dan mengamati apa yang terjadi, sambil merenung. Kalau
saja saya dan istri memutuskan tetap naik pesawat tersebut bersama beberapa
penumpang yang tergolong nekat, maka segala resiko siap kami alami. Bayang-bayang
maut mulai menghantui. Saya mulai meliat istri dan anak saya. Saya berbicara di
dalam hati, apakah saya sekeluarga akan mati dalam penerbangan ini?
Tapi hati kecil saya tetap damai.
Saya berusaha mendengarkan penjelasan pilot dengan baik. Dia mengatakan pesawat
tidak bermasalah. Memang semat terjadi gangguan kelistrikan, tapi sudah
teratasi. Terjadi penundaan jam berangkat, karna delay tadi yang menyebabkan
kami masuk pada jadwal penerbangan yang padat, sehingga menara penerbangan
belum mengijinkan. Saya terus mengamati istri saya dan anak, sambil mengingat
orang-orang terkasih di Yayasan Adjarmanu. Bagaimana kalau kami harus meninggal
hari ini.
Tapi setelah saya kembali
mengingat bahwa saya pernah mengalami kecelakaan mengerikan bersama istri dan
anak, juga kecelakaan yang saya alami sendiri, tetap kami tidak mati, saya
kembali meyakini bahwa hidup kami ada di dalam tangan Tuhan. Kalau tugas yang
Tuhan emban-kan kepada saya belum selesai saya kerjakan, Dia belum memanggil
saya. Begitu juga dengan istri dan anak saya. Sekuat apa pun mau merancangkan
kecelakaan bagi saya sekeluarga, kami tetap aman dalam perlindungannya. Tetapi
kalau waktu Tuhan telah tiba, itu tetap terjadi atas perkenanan-Nya.
Selanjutnya saya dan istri saya
masih berada di ruang tunggu dengan penumpang yang lain. Istri saya bersama ibu
pendeta sister mulai berdiskusi untuk kembali naik pesawat dan melanjutkan
perjalanan. Saya terdiam sambil menggendong anak. Beberapa saat kemudian, kami
melihat mobil tangga pesawat sudah menjauh dari pesawat dan pintu pesawat
ditutup. Saya, istri, dan anak pun bergegas menuju ke pesawat, tapi kami
dihalangi oleh petugas. Mereka mengatakan, pintu sudah ditutup. Tidak bisa
lagi. Istri saya terus berdebat dengan petugas dan memberi alasan kepada mereka
bahwa, kami ke ruang tunggu atas permintaan pilot, sebab di pesawat tidak ada
AC, sehingga kasihan bagi bayi. Istri saya mengatakan, “kenapa belum ada
pemberitahuan dari pilot untuk berangkat, sudah main tutup pintu?”. Akhirnya para
petugas kembali menghubungi menara pengawas dan diijinkan.
Kami pun bergegas ke samping
pesawat. mobil tangga kembali merapat. Selanjutnya kami naik ke pesawat, dan
pintu langsung di tutup. Saya melihat ke dalam pesawat, lebih dari setengah
bagian penumpang telah turun. Saya juga sempat membayangkan, apakah saya akan
mati bersama mereka? Tapi kembali lagi saya menguatkan hati dengan mengingat, “jikalau
belum waktunya Tuhan, saya belum mati”. Kami pun duduk menunggu pesawat take
off. Para penumpang terlihat kusuk berdoa sesuai dengan keyakinannya
masing-masing. Saya pun berdoa sambil memeluk anak saya, Vica.
Sambil memeluk Vica, saya
berbicara di dalam hati dan meminta maaf kepada Vica, sebab saya telah banyak
melibatkannya dalam misi yang berbahaya. Dia pernah mengalami kecelakaan
bersama saya, sampai kepalanya bocok saat masih berusia bayi. Vica banyak
mengalami hal-hal yang tidak dialami anak-anak lain. Bayi-bayi se-usianya banyak
bermain di rumah dan menikmati masa kecilnya, tapi Vica sering masuk keluar
kampung bersama saya dan istri terkait dengan pekerjaan di yayasan. Begitu juga
dalam penerbangan di beberapa daerah. Vica yang masih sangat bayi selalu
bersama kami. Dengan merenung hal-hal tersebut, saya benar-benar hancur hati
memeluk anak. Istri saya terdiam sambil berdoa. Saya terus memeluk anak sambil
mengelus kepalanya dan berbicara “ayah sayang Vica”. Kalau pun terjadi hal
buruk, biarlah hal itu terjadi saat saya memeluk anak yang paling saya cintai
dan kasihi. Saya pun berdoa.
Tak lama kemudian, pesawat menuju
ke landasan pacu. Saya mengangkat pandangan dan melihat di sekitar. Para penumpang
wajahnya cemas. Pesawat berhasil take off dengan baik. Penerbangan pun dimulai.
Kondisi di pesawat tidak seperti biasanya. Terlihat dari wajah penumpang,
seperti menunggu apa yang akan terjadi. Melihat ke luar jendela, hanya gelap
gulita yang terlihat, sebab pesawat terbang tengah malam.
Kurang lebih setengah jam
penerbangan, saya mulai berbicara dengan ibu pendeta Sister. Kami mulai berbagi
tentang perasaan yang kami alami. Ibu pendeta juga memberi kesaksian bahwa
hatinya tetap damai sekali pun kondisi cukup menegangkan. Pembicaraan kami pun
berlanjut. Raungan pesawat terlupakan oleh karena kami asik berbagi. Saya menceritakan
bagaimana kerinduan saya yang Tuhan taruhkan bagi generasi Indonesia melalui
Yayasan Adjarmanu. Saya bercerita tentang pendidikan di Sumba, tentang rencana
pengelolaan pertanian lahan kering, dan dari hasil pertanian itu dapat
menyumbangkan bagi gaji guru dan pembangunan infrastruktur. Dan berbagai
kerinduan lain. Setelah berbagi cerita, kami pun mendengar pengumuman bahwa
sebentar lagi pesawat akan mendarat.
Beberapa saat kemudian, kota
Jakarta mulai terlihat dari udara. Cahaya-cahaya lampu yang indah bagaikan
kunang-kunang terlihat jelas. Tak lama kemudian, pesawat pun mendarat mulus. Kami
pun bersuka cita karena tiba dengan selamat. Selanjutnya kami turun dari
pesawat dan mencari taksi untuk berangkat ke rumah keluarga. Tawar-menawar
harga, akhirnya dapat taksi yang lumayan murah. Kami pun tiba dengan selamat di
rumah keluarga.
Demikian kisah perjalanan yang
tidak seperti biasanya. Kira kisah ini bisa memberi makna bagi saudara-saudari yang
berkesempatan membacanya.
Tuhan memberkati.
Komentar
Posting Komentar