Oleh Jemy V Confide
Konon, dikisahkan, pada suatu
senja di tepi pantai, Xenna berjalan-jalan bersama seorang ratu di tepi pantai.
Sang Raja yang dikenal lalim dan kejam tengah terbaring sakit-sakitan menanti
ajalnya meskipun aura kekejiannya tidak juga memudar. Sementara itu, Sang Ratu
tengah menulis sebuah kitab kebijaksanaan (book
of wisdom) yang diharapkan menjadi tuntunan hidup bagi seluruh rakyatnya.
Buku itu berisi keteladanan-keteladanan dan kebaikan-kebaikan dan kebaikan yang
harus dilakukan oleh seluruh rakyat di kerajaan tersebut. Terang saja, buku itu
ibarat setetes air di tengah padang pasir bagi rakyat yang hidup di bawah
kekejaman seorang raja yang lalim. Aneh bin ajaib, sang ratu mengumandangkan
bahwa penulis book of wisdom adalah
suaminya dan bukan dirinya. Menyaksikan keganjilan tersebut, Xenna, sang
pendekar, dengan kritis bertanya, “Ratu, Anda yang menulis kitab ini dengan
susah payah tetapi kitab ini akan dikenang sebagai karya dari suami anda. Apa untungnya
bagi anda?” Sang ratu dengan senyumnya yang bijak menjawab “Yang beruntung
adalah semua rakyat negeri ini karena mendapat kitab yang sangat berharga.
Tidak penting siapa yang menulis kitab ini. Yang penting adalah kitab ini
dibaca dan diamalkan oleh seluruh rakyat negeri ini”. Sungguh suatu sikap yang
luhur yang diperlihatkan oleh Sang Ratu. Suatu sikap yang hanya dimiliki oleh
seseorang yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap negerinya.
Beberapa waktu yang lalu,
televisi-televisi kita cukup rajin menggelar realityshow. Beberapa di antaranya cukup menarik untuk disimak dan
bahkan sangat berbobot karena menyentuh nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi,
Salah satunya adalah tentang memberikan pertolongan. Dalam salah satu realityshow diaturlah skenario dimana
seseorang yang merupakan aktor dari pembuat realityshow
tersebut berada dalam kesulitan dan berusaha meminta tolong kepada orang-orang
di sekitarnya. Seperti sudah diduga, kebanyakan orang yang dimintai tolong akan
menolak dan bahkan menghindar. Hal ini sangat masuk akal karena setiap orang
punya kesibukan dan kepentingan masing-masing tentunya. Belum lagi resiko
menajadi korban penipuan atau bahkan tindak kejahatan lainnya. Siapa yang mau
mendapat masalah bukan? Setelah si aktor meminta tolong ke sana kemari dan
tidak mendapatkan pertolongan yang dia cari, sang penolong yang
dinanti-nantikan akhirnya datang juga. Uniknya, seringkali sang penolong adalah
orang yang tidak disangka-sangka. Mereka biasanya adalah orang-orang yang
secara ekonomi pas-pasan atau berkekurangan. Bahkan tidak jarang para penolong
ini memiliki kekurangan secara fisik jasmaniah meskipun hal tersebut tidak
mengurangi kemuliaan hati mereka. Sungguh orang-orang yang memiliki kepedulian
yang sangat tinggi.
Dunia ini akan menjadi indah bila
dihuni oleh orang-orang yang peduli. Demikian kata Sang Pujangga. Memang benar,
“peduli” adalah sebuah kata yang sudah sangat sering kita dengar dan bahkan
kita ucapkan. “Aku peduli”. Demikian seorang pria berusaha meyakinkan
kekasihnya. “Emang siapa yang peduli?” Seorang anak remaja membalas ledekan
temannya. Bahkan para pucuk pimpinan sering juga mendengungkan kepedulian. Tetapi
apakah kita sudah benar-benar memahami arti kepedulian? Terlebih lagi, sudahkah
kepedulian menjadi karakter kita yang mewarnai kehidupan kita sehari-hari?
Kata “peduli” atau “kepedulian”
memiliki spektrum yang luas. Dua ilustrasi di atas membuktikan kepada kita
bahwa “kepedulian” tidak memandang strata atau kedudukan. “Kepedulian” bisa
dimiliki oleh seorang ratu tetapi juga bisa dimiliki oleh seorang pedagang
minyak keliling yang memiliki handycap
untuk berjalan. “Kepedulian” juga merupakan sesuatu yang melimpah sehingga ia
bisa hadir dimana saja dan kapan saja dan tidak menjadi berkurang karena kita
memberikannya kepada orang lain. Namun disitulah letak kelemahannya. Karena begitu
luasnya spektrum “kepedulian” maka maknanya bisa menjadi kabur tanpa kita
sadari. Karena begitu berlimpahnya “kepedulian” maka kita mengabaikannya dan
menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang sudah semestinya (take it for granted).
Karena kedua alasan tersebut di
atas, maka “kepedulian” bisa menjadi sesuatu yang langka dan mungkin saja punah
dari hati nurani manusia. Sebelum hal itu benar-benar terjadi, kita perlu
melakukan upaya-upaya yang diperlukan untuk melestarikan “kepedulian”. Salah satunya
adalah dengan menggali kembali prinsip-prinsip yang terkadang dalam “kepedulian”.
Dalam perjalanan menemukan kembali arti “kepedulian”, saya melakukan pengamatan
terhadap orang-orang yang menurut hemat saya telah memperlihatkan sikap peduli.
Hasilnya saya mendapatkan dua belas prinsip berikut ini:
- PEDULI BERARTI MEMBERI PERHATIAN kepada hal kecil yang mengakibatkan dampak besar (dan bukan memberikan perhatian kepada hal besar tetapi memberikan dampak kecil).
- PEDULI BERARTI BERKOMUNIKASI dengan orang yang disayangi meskipun dialog yang dilakukan sepertinya tidak berjalan dengan baik.
- PEDULI BERARTI MENGERTI situasi orang yang disayangi meskipun orang tersebut tidak menyadari situasi yang sedang dihadapinya.
- PEDULI BERARTI MELAKUKAN TINDAKAN DENGAN SEGERA pada kesempatan pertama dan bukan sekedar berkhotbah belaka.
- PEDULI BERARTI MEMBERI KENYAMANAN terhadap orang yang disayangi bahkan pada saat-saat yang paling sulit sekalipun.
- PEDULI BERARTI PANJANG KASIH DAN SABAR serta memberikan bimbingan kepada orang yang disayangi untuk menemukan dan mencapai tujuannya.
- PEDULI BERARTI BERBAGI bahkan untuk hal-hal yang paling berharga sekalipun sesuai kebutuhan orang yang disayangi.
- PEDULI BERARTI KOMITMEN JANGKA PANJANG bahkan ketika orang yang disayangi sudah tidak ada lagi.
- PEDULI BERARTI MEMAAFKAN bahkan untuk hal yang paling menyakitkan sekalipun demi tujuan yang lebih mulia.
- PEDULI BERARTI PERCAYA terhadap orang yang disayangi, terhadap diri sendiri dan terhadap visi bersama.
- PEDULI BERARTI MENYUCIKAN diri dari kepentingan pribadi.
- PEDULI BERARTI MENCITAI. Cinta harus memilih tetapi sekali keputusn telah dibuat, tidak ad dalih lagi untuk berhenti mencintai.
Bayangkan bila kita menerapkan
ke-dua belas prinsip kepedulian tersebut dalam hidup kita. Bayangkan bila hal
itu kemudia menginspirasi orang-orang di sekitar kita untuk juga melakukannya. Bayangkan
bila akhirnya bangsa ini menjadi bangsa yang ulung dalam menerapkan ke-dua
belas prinsip kepedulian tersebut. Sungguh sebuah negeri yang indah bukan? Sebuah
negeri yang sudah mengkah ke tahap peradaban yang lebih tinggi dalam sejarah
umat manusia. Benar kata Sang Pujangga, dunia ini akan menjadi indah bila dihuni
oleh orang-orang yang peduli. Semoga kita bisa lebih peduli!
“Kepedulian”
juga merupakan sesuatu yang melimpah sehingga ia bisa hadir dimana saja dan
kepan saja dan tidak menjadi berkurang karena kita memberikannya kepada orang
lain.
AND
Komentar
Posting Komentar