Kamis, 19 Mei 2016, saya bersama
Pdt. Huki Landu Djama, perwakilan dari Yayasan Adjarmanu dan Gereja-Gereja
Bebas Sumba Timur bertolak dari rumah ibu Grace Yonatan menuju Empire Palace. Setiba
di Hotel, kami langsung menuju loby, kebetulan mobil berhenti persis di depan
pintu masuk.
Saya mengamati pemandangan di
sekitar beberapa saat, sambil menikmati hasil karya arsitek yang merancang
bangunan tersebut, tampak sangat megah. Sambil melangkah ke ruang lobby dan
saat petugas membuka pintu, saya pun terkejut, karna langsung bertemu dengan
Pak Made Langgeng, yang sebelumnya turut memperjuangkan program Yayasan Trampi
Indonesia di wilayah Sumba dan wilayah lainnya untuk pertama kali tahun 2013. Kami
pun bersalaman dengan penuh kehangatan, karna memang sudah lama tidak bertemu,
dan kami tau dengan seksama bagaimana berbagai kesulitan yang dihadapi dimasa
lalu sampai bisa terealisasi program pemberian beasiswa bagi guru dalam jabatan
dan pendirian ICT Learning Center.
Selesai salaman, tidak jauh dari
situ, langsung terlihat Pak Takim. Lagi-lagi saya cukup terkejut, karna
ditengah kerumuman orang yang begitu banyak, saya langsung bertemu dengan
orang-orang yang sudah menjadi bagian dari keluarga saya. Saya langsung memberi
salam kepada pak Takim, dan beliau menyambutnya dengan senyuman khas sebagai
seorang bapak yang menyambut anak.
Selanjutnya saya langsung
memantau sekeliling, dan persis di sebelah kiri saya adalah ruang dari Yayasan
Trampil Indonesia. Saya langsung temui ibu Sioman dan saudara/i lainnya. Kami bersalama
juga dengan penuh persaudaraan. Buat saya, bertemu dengan saudara/i dari
Trampil, benar-benar sesuatu, karena saya terus kembali mengingat masa-masa
pelatihan fasilitator, bagaiman kami membuat komitmen, dan saya harus
meneteskan air mata, karna bayangan dari apa yang akan dikerjakan begitu berat.
Yah, pak Adhi Kristiono, pak Dave, pak Made, dan ibu Arlinah Rahardjo sangat
membekas di saya dan mereka seperti keluarga saya sendiri. Selanjutnya ada pak
Minggus, ibu Mella, dan rekan-rekan lainnya yang masih terus berjuang mengawal
program ini sampai hari ini.
Selesai bincang-bincang sesaat,
kami diarahkan untuk mendaftar ke petugas MPK. Kami pun berjalan menuju ruangan
yang sudah diberitahu. Karna peserta sangat banyak, kami pun menunggu giliran. Akhirnya
kami dapat bukti berupa kertas kecil sebagai tiket untuk bisa registrasi masuk
hotel. Kami langsung menuju resepsionis. Kami berbaris rapi seperti paskibraka,
sekalipun barisannya agak miring-miring. Saya coba curi-curi pandang mengamati
bapak-bapak dan ibu-ibu yang lainnya, ternyata sudah pada tua-tua atau lanjut
usia. Ada beberapa orang yang umur sebaya saya, tapi tetap didominasi dari
bapak/ibu yang lanjut usia.
Sambil antri, ada satu ibu yang
datang modar-mandir dan lansung memotong baris antrian sambil kompalin ke
recepsionis. Setelah selesai, ibu itu datang lagi, bicara dengan nada agak
tegang trus pergi lagi. Nah datang yang ketiga, akhirnya membuat salah satu
dari rekan di barisan tidak sabar lagi. Langsung beliau bilang “mati saja atri,
kok ni ibu sama skali tidak bisa sabaran? Khotbah
sih boleh hebat, tapi kalau kelakuan hamba Tuhan seperti ini, seperti apa
jemaatNya?”. Saya pun mengamati wajah dari bapak yang satu ini. Beliau tinggi-tinggi
rambu putih dan belah tengah. Saya lansung mengulang kata-katanya “mati saja
atri, kok ni ibu sama skali tidak bisa sabaran?”. Bapak ini langsung balik ke
arah saya dan bilang, “ia bennneerrr pak... tuh ibu keterlaluan. Masa udah
lihat orang antri, trus asal serobot? Khotbah sih boleh hebat, tapi kalau
kelakuannya nggak bennner seperti ini, ya percuma”. Saya pun tersenyum dan
langsung memberi salam padanya sambil mengajak kenalan, “Maulana”, saya
mebalasnya “Oscar”. Akhirnya kami pun mulai saling curi pandang. Kata hati
saya, boleh juga bapak yang satu ini.
Selesai registrasi, saya langsung
menuju kamar bersama bpk. Pdt. Huki Landu Djama dari Parai Puluhamu, Sumba Timur.
Kami mendapat kamar dengan nomor 982. Nomor yang cantik, karna tiga angka di
belakang adalah tahun kelahiran saya yaitu 1982. Saya juga mendapat nomor dari
petugas MPK saat mendaftar dengan nomor 182. Saya merasa unik saja. Menjadikan saya
berusaha merekam setiap peristiwa.
Adapun yang paling
terngiung-ngiung di kepala saya adalah, kata-kata dari bapak itu di tempat
registrasi, “Khotbah sih boleh hebat,
tapi kalau kelakuan hamba Tuhan seperti ini, seperti apa jemaatNya?””. Saya
membayangkan, ada benarnya juga. Tidak luput ada banyak para pendeta yang
sangat hebat saat berkhotbah, tapi dalam kesehariannya, tidak mencerminkan
sesuai semangatnya saat dia berkhotbah. Benar-benar membuat saya merenung.
Kiranya kisah singkat ini bisa
memberkati pembaca. Salam dan sukses selalu untuk peserta Konas II dan untuk
kita semua.
AND
Komentar
Posting Komentar